Senin, 25 Mei 2009

KRAYAN SUMBER GARAM GUNUNG


Krayan Sumber Garam di gunung

Pada tanggal 21 Januari 2009, kami berangkat menuju Tarakan dari Balikpapan dengan pesawat Batavia selama kurang lebih 45 menit. Kami menginap semalam di Tarakan. Keesokan harinya menuju Long Bawan - Krayan – Nunukan selama satu jam dengan pesawat Susi Air Nampak dari udara hijaunya hutan dengan gunung diselimuti kabut tipis dan cuaca yang mendung membuat ciutnya hati saya, namun semua hilang ketika untuk pertamakalinya saya menginjakkan kaki disini dengan disambut upacara adat Dayak Lundayeh yang mengenakan pakaian unik dari kulit kayu. Akrab, hangat dan tulus itulah kesan pertama saya melihat warga disini, terutama gadis-gadisnya yang berkulit putih, hidung mancung, badan langsing tinggi dan senyum yang manis. “Di tempat terpencil ternyata gadis-gadisnya seperti noni Belanda,” gumam saya dalam hati. Wajah ceria dihiasi senyum ramah terhadap pendatang ternyata merupakan pemandangan umum di Krayan. Serta sifat tanpa rasa prasangka terhadap pendatang layaknya sifat warga Dayak, Kalimantan Timur.
Lundayeh adalah contoh harmoni alam dengan manusia. Mereka hidup dalam kebersamaan dalam ikatan kekerabatan yang erat. Tolong-menolong juga menjadi ciri hidup mereka. Penuh kedamaian meski dalam “keterasingan geografis” dari wilayah Republik Indonesia. Tidak “ngoyo” terburu waktu untuk bekerja. Hidup berdampingan dengan alam tetap terjaga di Krayan yang terpencil merupakan kebijakan tradisi Dayak Lundayeh. Alam yang perawan dipadu pola hidup ramah lingkungan merupakan hal langka di Kalimantan Timur yang alamnya dieksploitasi secara membabi buta.
Sebagian besar dataran tinggi tempat mereka tinggal merupakan wilayah Indonesia dan sisanya wilayah Malaysia. Kehidupan dataran tinggi Krayan sepintas lalu seperti surga dunia yang belum terjamah polusi peradaban manusia. Namun, ironisnya lebih mudah menjangkau Krayan lewat Negara Bagian Sabah dan Sarawak.
Keterasingan menjadikan alam sebagai sahabat terbaik Dayak Lundayeh yang bersikap bijaksana dalam memanfaatkan lingkungan hidup. Hasil panenan sawah, berburu hewan, dan serangga, serta menangkap ikan merupakan sumber pangan mereka yang utama.
Beras Krayan merupakan beras yang sangat digemari oleh Sultan Brunei. Ironisnya, beras itu konon dikonsumsi Kesultanan Brunei Darussalam dengan nama “Beras Bakalalan”, buatan Sarawak, Malaysia.
Sawah yang mereka kerjakan diperoleh secara turun-temurun dan berhasil memberikan surplus bagi mereka, meski hanya panen sekali setahun tanpa diberi pupuk kenyataannya sawah mereka bebas hama. Surplus padi itu juga menjadi berkah karena memungkinkan perdagangan lintas-batas negara tradisional Indonesia-Malaysia dari Long Bawan ke Bakalalan atau Bareo di Sarawak.
Umumnya mereka memiliki tiga buah lumbung, yaitu lumbung sawah atau ladang, lumbung rumah, dan lumbung desa yang dikelola gereja. “Memiliki pola lumbung padi yang berlapis, membuat ketahanan pangan mereka kuat, “ demikian kata pak Ferdi salah seorang warga Krayan yang sudah lama menetap di Samarinda.
Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, warga Lundayeh memburu rusa, babi hutan, hewan lainnya di hutan atau ikan di sungai. Serangga di hutan pun turut dikonsumsi mereka.
Masyarakat setempat juga mengonsumsi jamur, buah-buahan hutan, dan tanaman yang disediakan alam untuk bahan pangan dan obat-obatan.
Pola konsumsi selama masyarakat menjaga kelestarian hutan dan lingkungan di sekitar tampaknya masih terwujud karena masyarakat Krayan belum menggunakan bahan kimia berbahaya dalam bertani. Sementara kebutuhan protein dan sayuran akan tetap terjaga selama hutan di dataran tinggi Krayan tetap lestari. Anak-anak warga Krayan jarang yang mengalami sakit berat dan menderita demam berdarah, malaria dan sebagainya. Hal ini mungkin disebabkan karena hutan yang bersih, udara yang dingin sehingga nyamuk tidak ada, udara yang belum tercemar dan tidak adanya bahan kimia pada sawah mereka.
Dari Long Bawan kami menuju Long Midang dengan pesawat helicopter selama kurang lebih 15 menit untuk meninjau pos perbatasan disana. Setelah Pangdam dan Ibu melaksanakan peninjauan, kami menuju sawah untuk melaksanakan panen padi bersama.
Sebelumnya kami diharuskan mengenakan sepatu karet. Selama ini belum pernah saya merasakan panen padi yang dipotong dengan menggunakan ani-ani.
Setelah itu kami dan rombongan menuju sumur air garam gunung. Jalan setapak, lumpur tebal, sungai kecil dan hujan rintik mewarnai perjalanan kami. Menurut warga setempat, hujan memang biasa ada setiap tamu yang untuk pertamakalinya menuju lokasi sumur garam.
Kami sempat melewati sungai kecil dan tidak dalam hanya sekitar betis yang bernama sungai.......dan menurut warga, air sungai ini bila terkena luka ditubuh, maka luka itu akan semakin infeksi dan sulit untuk disembuhkan.“Bukan main, Tuhan Maha Kuasa, mengapa ini bisa terjadi?Apakah air sungai ini beracun?,” kataku dalam hati. Saya terus mencoba berjalan di sungai ini, dan untung sepato boot kami tinggi sebatas lutut sehingga celana panjang kami tidak ikut basah.
Sesampai disana, kami mencuci muka dan minum air sumur ini, rasanya asin. Konon, barang siapa yang berdoa disini sambil minum atau mandi dengan air garam ini maka apa keinginannya akan terkabul dan muka akan awet muda. Amin. Dan uniknya garam gunung itu apabila dipakai merebus daun-daunan maka daun tersebut tetap hijau. Dan berkhasiat pula untuk kecantikan serta garamnya apabila ditempel di jerawat maka berkhasiat pula untuk menghilangkan jerawat . Subhanallaah.....Sambil menunggu hujan reda kami berteduh disitu dengan menyaksikan pembuatan garam yang dilaksanakan secara sederhana dengan hanya memanaskan air itu lalu mereka bungkus dengan bambu dan daun lebar sehingga ketika dingin akan berwujud garam batang.
Konon diketemukannya sumur ini, pada jaman dahulu kala ketika warga sedang berburu burung , dan burung itu tewas persis di atas tanah yang tergenang sedikit air. Lalu mereka segera membersihkan bangkai burung tersebut sambil mencabuti bulunya dan siap untuk dimasak. Merekapun mengambil sedikit air itu untuk merebus daging burung tersebut. Ketika matang, mereka heran daging burung ini terasa lain dan tidak biasanya. Daging ini terasa nikmat sekali dan asin. Lalu mereka mencoba minum air tanah itu, setelah dirasakan asin maka mereka berusaha menggali sumber air tersebut. Keesokan harinya berdasarkan cerita dari mulut ke mulut tentang daging burung, maka warga lalu berbondong-bondong menggali lebih dalam lagi sumber air itu hingga membentuk sumur hingga kini sumur tersebut sudah disemen dan diambil dengan timba ember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar